Pada 3 Agustus 1958, kapal selam nuklir pertama milik Angkatan Laut
Amerika Serikat, Nautilus, berhasil menuju Kutub Utara. Nautilus mulai
menyelam di Point Barrow, Alaska, dan bertualang lebih dari 1.000
kilometer untuk mencapai pucuk dunia.
Petualangan kemudian berlanjut menuju Islandia. Sekaligus menjadi
pionir penemuan rute baru yang lebih pendek dari Samudra Pasifik ke
Samudra Atlantik dan Eropa.
USS Nautilus dibangun di bawah arahan Kapten Angkatan Laut AS Hyman G
Rickover. Insinyur kelahiran Rusia yang bergabung dengan program atom
AS di tahun 1946. Setahun kemudian, ia ditugaskan untuk program tenaga
penggerak nuklir dan memulai proyek kapal selam. Berkat kerja kerasnya,
Rickover berhasil membangun kapal selam nuklir pertama di dunia lebih
cepat setahun dari yang dijadwalkan.
Di tahun 1952, rangka Nautilus diresmikan oleh Presiden AS saat itu,
Harry Truman. Tepat pada 21 Januari 1954, Ibu Negara Mamie Eisenhower,
istri dari Dwight D Eisenhower sebagai penerus Truman, memecahkan botol
sampanye sebagai simbol pelepasan Nautilus ke Sungai Thames di
Connecticut.
Namun, baru pada 17 Januari 1955, Nautilus menggunakan tenaga nuklir.
Kapal selam nuklir ini membentang lebih dari 97 meter dengan berat
3.180 ton. Kelebihannya dibanding kapal selam sebelumnya adalah bisa
bertahan di bawah air tanpa batasan waktu.
Ini karena mesin atom yang digunakan tidak butuh udara dan hanya
menghabiskan sedikit bahan bakar nuklir. Reaktor nuklir juga membuat
Nautilus mampu berkecepatan hingga 20 knot di bawah air.
Saat berhasil melewati Kutub Utara pada 3 Agustus 1958, Komandan
William R Anderson mengumumkan,"Untuk dunia, negara, dan Angkatan Laut
--Kutub Utara."
5 Agustus, Nautilus kembali muncul ke permukaan di Laut Greenland.
Dua hari berselang, Anderson berhasil membawa Nautilus dan krunya sampai
ke Islandia.
Kapal selam ini akhirnya mencapai masa pensiun pada 3 Maret 1980.
Setelah melewati karir selama 25 tahun dan pengarungan lebih dari 800
ribu kilometer. Nautilus kini menjadi penghuni Submarine Force Museum di
Groton, Connecticut.
National Geographic Indonesia
0 comments:
Post a Comment