Proklamator dan presiden pertama dalam sejarah Republik Indonesia
berdaulat, Soekarno serta Soegijapranata, Uskup Semarang pada tahun 1940
sekaligus uskup pribumi pertama Indonesia mempunyai peranan
masing-masing pada masa awal kemerdekaan. Kesamaan antara Bung Karno dan
Uskup Soegija adalah mengupayakan diplomasi untuk mempertahankan
kemerdekaan.
Ini yang ditarik menjadi benang merah dalam sebuah diskusi sejarah
bertema "Soegija dan Soekarno", bertempat di Gedung Gramedia Palmerah
Barat, Jakarta (23/6). Menurut penulis Ayu Utami, yang menelurkan buku
tentang biografi Soegijapranata, Soegija 100% Indonesia.
"Soekarno dan Soegija merupakan dua sosok di masa kemerdekaan. Kedua
tokoh ini yang memegang peranan di perjuangan diplomasi Republik
Indonesia, di tengah pergolakan pengakuan kedaulatan negara," kata Ayu
yang menambahkan dalam revolusi 1945-1949, dua instrumen yang digunakan
untuk mencapai pengakuan kedaulatan RI adalah perjuangan bersenjata dan
diplomasi.
Soegija, ungkap Ayu, penting dalam pemahaman kebangsaan kita ketahui
ia bukan tentara. "Pahlawan nasional ini justru tidak mengangkat
senjata. Ia bukan pejuang dengan bambu runcing, atau sebagainya.
Anak-anak tumbuh dibangun dengan didikan bahwa perjuangan kemerdekaan
adalah dengan jalan senjata dan kekerasan. Perjuangan diperlihatkan
seolah-olah hanya lewat militer."
Ia menegaskan, kenyataannya sebagian besar perjuangan dilakukan
dengan diplomasi, atau model perjuangan yang tidak mengangkat senjata.
"Di sini Soekarno dan Soegija penting karena mengingatkan kembali kita
akan perjuangan melalui kelihaian diplomasi."
Peter Kasenda, sejarawan yang pernah menulis buku Sukarno Muda
menambahkan, secara relasi Soekarno dan Soegija cukup dekat. Soegija
tergolong akomodatif terhadap Soekarno. "Soegija punya hubungan dekat
dengan Bung Karno, tapi Soegija pun mengenal Bung Hatta ketika di
Belanda," kata Peter.
Pada waktu Bung Karno dalam pengasingan, Soegija ikut memberikan
fasilitas untuk membantu keluarga Soekarno di Yogyakarta. Namun, sering
pula mereka berdebat dan saling mengkritik dalam hal pendapat atau
pandangan.
Sejarah Populer
Sebagai sejarawan serta penulis buku, Peter melihat adanya peluang
untuk mempopulerkan seorang tokoh dan sejarahnya lewat buku. Melalui
buku yang menceritakan satu tokoh, orang-orang awam jadi dapat memahami
lebih banyak konteks sejarah. "Hanya saja mungkin harus gaya penulisan
populer. Seperti contoh buku Ayu Utami mengenai Soegija ini,"
selorohnya.
Ia juga menilai, pada buku-buku maupun referensi sejarah pada
umumnya, letak persoalan adalah di gaya penulisan, yang menyajikan
data-data kering.
National Geographic Indonesia
0 comments:
Post a Comment